10 March 2012

Menanamkan Kecerdasan Spritual Generasi Muda Hindu berdasarkan Ajaran Veda


Generasi muda Hindu adalah kelompok angkatan usia produktif, terpelajar, dan terdidik yang mempunyai kepribadian kokoh sebagai tempaan bangku sekolah dan pengalaman sehingga ia mandiri, dewasa, serta bijaksana dalam bersikap.
Dalam menghadapi persaingan global, di samping unggul dalam kualitas, generasi muda Hindu mesti unggul pula dalam moral dan etika. Dengan demikian, diharapkan generasi muda Hindu mampu menjadi subjek, bukan hanya penonton, terlebih di rumahnya sendiri. Dalam meningkatkan kualitas diri, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan menjadi sesuatu yang penting. Tanpa itu sulit memenangkan persaingan.
Manusia di abad ini mengetahui bahwa kesehatan adalah hal pokok yang sangat penting untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Ia tidaklah hanya mencakup aspek physical saja, tetapi juga mencakup aspek-aspek non-physical, yaitu: spiritual, emosional, dan intelektual. Kesehatan jasmani memang menjadi landasan yang utama, tetapi segera setelah itu terpenuhi, kesehatan spiritual, emosional, dan intelektual tidak dapat ditunda, apa lagi diabaikan.
Manusia memerlukan tuntunan spiritual dalam kehidupannya agar dapat melakukan aktivitas tidak hanya berlandaskan keberadaan tubuh (on the bodily platform of existence).
Agama Hindu dengan Kitab Suci-nya: Veda, menyediakan berbagai petunjuk dan perintah Tuhan yang memperkuat aspek spiritual, yang pada gilirannya membentuk emosi yang terkendali, baik dalam berpikir, berkata-kata, maupun berbuat sesuatu. Dalam kesadaran emosi yang positif, tumbuh, dan berkembanglah keinginan untuk selalu meningkatkan inteligensi melalui proses pendidikan dan pembelajaran. Potensi-potensi yang berguna bagi meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia bertumpuk pada generasi muda, sehingga sangat disayangkan bila potensi demikian tidak didayagunakan. Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku hasil karya tokoh terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar akan tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan spiritual.
Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar dirinya. Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri.
Dalam Brhadaranyaka Upanisad telah ditegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam kehidupan manusia. Penegasan ini diaplikasikan oleh filsuf Hindu terkenal Adi Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya pada nalar manusia. Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang mulanya subjektif kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik.
Bila demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia yang harmonis dengan Hyang Widhi (Parhyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan).
Ketiga keharmonisan ini disebut “Trihita Karana”. Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realitas logis, yang berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia.
Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya memelihara roh atau atman yang ada di dalam dirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran.
Dalam filsafat Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi. Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada dirinya, berarti ia berhasil pula menguatkan stana Hyang Widhi dalam dirinya.
Ia dengan segera akan mendapatkan pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika (perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang telah dirasuki kemurnian dan kekuatan Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanist.
Upanisad menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal pokok:
  1. Nilai hakiki, yaitu Veda
  2. Sarana, yaitu tarka
  3. Tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana telah dijelaskan di atas. Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan fakta yang lebih besar.
Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya mencakup hal-hal material saja tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak berwujud misalnya, panca tan matra, yaitu pengaruh panca indria:
  1. Sabda tan matra (pendengaran)
  2. Sparsa tan matra (rasa kulit)
  3. Rupa tan matra (penglihatan)
  4. Rasa tan matra (rasa lidah)
  5. Ganda tan matra (penciuman)
Pengaruh panca tan matra pada atman melalui pikiran kemudian membentuk trikaya (kayika: perbuatan, wacika: perkataan, dan manacika: pikiran).
Trikaya seseorang akan menampilkan tripramana, yaitu rajas, tamas, dan sattwam, yang pada gilirannya menjadi salah satu bagian dalam pembentukan karmawasana. Unsur-unsur karmawasana adalah subha dan asubha karma.
Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik. Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala. Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapatkan pahala yang baik, sedangkan perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Karma phala atau karma pala adalah salah satu dari lima keyakinan (Panca Sradha) dari Agama Hindu agama Dharma. Berakar dari dua kata yaitu karma dan phala. Karma berarti perbuatan/aksi, dan phala berarti buah/hasil. Karma phala berarti buah dari perbuatan yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan. Karma phala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima. Yang menerima adalah yang berbuat, bukan orang lain. Karma Phala adalah sebuah Hukum Universal bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas: perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku, Ketiganya lah yang akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat.Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya.
Karma Phala terbagi atas tiga, yaitu:
  1. Sancita Karma Phala (Phala/Hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya)
  2. Prarabdha Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehikupan saat ini dan Phalanya akan diterima pada kehidupan saat ini juga)
  3. Kryamana Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun Phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang)
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan cara sendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, melalui jnyana marga, dan yoga marga atau kombinasi dari keempatnya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan menebarkan cinta kasih.
Ini tidaklah mudah karena seorang pencari kebenaran akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak ketidakbenaran, atau kesalahan.
Dari segi pendidikan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran spiritual mestinya selalu ditanamkan sehingga dengan sinar spirit inilah intelektual Hindu akan dapat mewujudkan kehidupan satyam, siwam, sundaram, yaitu kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama (satyam), saling menyayangi sesama umat manusia (siwam), dan sejahtera lahir-batin (sundaram).
Dasar yang kuat untuk mencapai kebenaran spiritual adalah ‘kedekatan’ dengan Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan akan keberadaan-Nya dapat melalui Catur Pramana, yaitu: Agama Pramana, dari mempelajari kitab suci Veda; Pratyaksa Pramana, merasakan atau mengalami langsung dengan jelas dan nyata delapan ke-Maha Kuasaan-Nya yang disebut sebagai Asta Aisvarya:
  1. Anima = sangat halus
  2. Laghima = sangat ringan
  3. Mahima = sangat besar
  4. Prapti = dapat menjangkau semua tempat
  5. Isitva = melebihi segalanya
  6. Prakamya = berkehendak mutlak
  7. Vasitva = sangat berkuasa
  8. Kamavasayitva = kodrati, tak dapat dirubah
Selanjutnya, catur pramana yang lain adalah Anumana Pramana, yaitu dengan menarik kesimpulan berdasarkan logika, dari unsur-unsur gerakan, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan, dan keteraturan.
Yang terakhir adalah Upamana Pramana, yaitu analogi, dan kesimpulan berdasarkan perbandingan-perbandingan dari unsur-unsur metafora (penciptaan), struktural (bahan ciptaan) dan kausal (akibat dari suatu sebab).
Keempat pramana di atas mewujudkan keyakinan yang kuat yang disebut sebagai Pancasrada, yaitu:
  1. Widhi Tattwa (keyakinan pada adanya Hyang Widhi)
  2. Atma Tattwa (keyakinan pada adanya roh)
  3. Purnabhawa (keyakinan pada adanya re-inkarnasi)
  4. Karmaphala (keyakinan pada hukum karma-phala)
  5. Moksah (keyakinan akan adanya persatuan antara roh/ atman denganTuhan/ Brahman di suatu saat yang tepat, bila kesucian roh memenuhi syarat tertentu atau sama dengan Brahman)
Secara riil upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta adalah melalui empat jalan atau Catur Marga, yaitu:
  1. Bhakti marga, menyembah, memuja, menghormati dan menyayangi
  2. Karma marga: bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Veda
  3. Jnyana Marga: proses pembelajaran
  4. Yoga Marga: olah badan dan pikiran untuk menghubungkan atma dengan parama atma
Keempat jalan itu tidak dilaksanakan sendiri-sendiri, tetapi serentak bersamaan, namun keseimbangan bobotnya disesuaikan dengan kemampuan individu.
Dalam menempuh keempat jalan itu, kitab suci Veda telah menggariskan hal-hal yang harus dilaksanakan dan hal-hal yang tak boleh dilaksanakan, yaitu:
1. Catur Purushaarta: dharma, artha, kama, dan moksa, di mana urut-urutannya tidak boleh diubah, karena tiada artha yang diperoleh tanpa melalui dharma, selanjutnya tiada kama diperoleh tanpa melalui artha, serta tiada moksa bisa dicapai tanpa melalui dharma, artha, dan kama.
2. Sistacara: kehidupan suci yang membentuk susila
3. Sadacara: taat pada peraturan atau perundangan yang sah
4. Atmanastusti: memelihara hati nurani yang suci
5. Menjauhkan diri dari Sad Tatayi:
  1. Agnida (membakar, memarahi orang, menghasut, dll)
  2. Wisada (meracun atau meracuni dengan kata-kata atau bujukan)
  3. Atharwa (menggunakan ilmu hitam)
  4. Sastraghna (mengamuk/ lepas kendali)
  5. Dratikrama (memperkosa)
  6. Rajapisuna (memfitnah)
6. Waspada pada Sad Ripu yang ada pada diri sendiri:
  1. Kama (nafsu),
  2. Lobha (serakah),
  3. Kroda (marah),
  4. Mada (mabuk),
  5. Moha (sombong),
  6. Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati)
7. Laksanakan Trikaya Parisudha, yakni
  1. Perbuatan (kayika) yang baik: ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti), tan mamandung (tidak mencuri, korupsi, kkn), tan paradara (tidak berzina)
  2. Perkataan/ ucapan (wacika) yang baik: tan ujar apregas (tidak berkata-kata kasar/ keras), tan ujar ahala (tidak berkata-kata kotor atau membual), tan ujar pisuna (tidak memfitnah), satya wacana (jujur, menepati janji)
  3. Pikiran (manacika) yang baik: tan adengkya ri drwyaning len (tidak iri atau ingin memiliki kepunyaan orang lain), mamituhwa ri hananing karma-phala (percaya pada hukum karma-phala), dan masih ring sarwa satwa (menyayangi semua mahluk)
8. Senantiasa melakukan Asada Brata:
  1. Dharma (taat pada hakekat kebenaran)
  2. Satya (setia pada nusa-bangsa-negara)
  3. Tapa (mengendalikan diri)
  4. Dama (tenang dan sabar)
  5. Wimatsarira (tidak dengki, iri, serakah)
  6. Hrih (punya rasa malu berbuat salah atau dosa)
  7. Titiksa (tidak gusar)
  8. Anasuya (tidak bertabiat jahat)
  9. Yadnya (suka berkorban)
  10. Dana (dermawan)
  11. Dhrti (mensucikan diri)
  12. Ksama (suka memaafkan)
9. Kemampuan mengendalikan Dasa Indria:
  1. Srotendria (pendengaran)
  2. Twakindria (alat peraba, kulit)
  3. Granendria (penciuman)
  4. Caksundria (mata)
  5. Wakindria (lidah/ perkataan)
  6. Panindria (gerakan tangan)
  7. Payundria (membuang kotoran)
  8. Jihwendria (gerakan kaki)
  9. Pastendria (kelamin)
10. Mengendalikan diri melalui Yama Brata:
  1. Arnsamsa (tidak egois)
  2. Ksama (pemaaf)
  3. Satya (setia)
  4. Ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti)
  5. Dama (sabar dan tenang)
  6. Arjawa (tulus ikhlas)
  7. Pritih (welas asih)
  8. Prasada (tidak berpikir buruk)
  9. Madhurya (bermuka manis secara tulus ikhlas)
  10. Mardawa (lemah lembut)
11. Menegakkan disiplin melalui Niyama Brata:
  1. Dana (dermawan)
  2. Ijya (rajin bersembahyang)
  3. Tapa (pengendalian diri/ mengekang nafsu)
  4. Dhyana (menyadari kebesaran Hyang Widhi)
  5. Swadhyaya (rajin belajar)
  6. Upastanigraha (menjaga kesucian hubungan sex)
  7. Brata (mengekang nafsu)
  8. Upawasa (puasa)
  9. Mona (mengendalikan pembicaraan)
  10. Snana (menjaga kesucian lahir-bathin)
12. Mengatur tahap kehidupan dalam Catur Ashrama:
  1. Brahmacari (masa konsentrasi belajar)
  2. Griyahasta (berumah tangga dan mengembangkan keturunan)
  3. Wanaprasta (mengurangi ikatan pada keduniawian)
  4. Bhiksuka (mensucikan diri menjadi orang suci)
Intelektual Hindu di masa depan idealnya adalah kelompok yang telah mencapai Sad Guna, yaitu:
  1. Sandhi (mudah keluar dari kesulitan hidup)
  2. Wigrha (berpengaruh luas)
  3. Jana (perkataannya sebagai cerminan pola pikir, dituruti massa)
  4. Sana (selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan)
  5. Wisesa (bijaksana, berwibawa, mudah menaklukkan adharma)
  6. Srya (mendapat simpati/ disenangi)
Pribadi-pribadi yang dalam keadaan sad-guna akan membiaskan vibrasi pada kelompok masyarakat sehingga terwujudlah tatanan kehidupan yang satyam, siwam, sundaram.


Tulisan ini banyak mengambil dari Artikel karangan Bhagawan Dwija Warsa Sandhi
dari Griya Lingga Singaraja-Bali

Daftar Pustaka
Bhagawan Dwija,2009, Intelektual Hindu di Masa Depan, http://stitidharma.org/intelektual-hindu-di-masa-depan/  diakses tanggal 26 Januari 2012
Bhagawan Dwija,2009, Peran Generasi Muda Hindu Dalam Memperkokoh Jati Diri Menuju Ajeg Hindu, http://stitidharma.org/peran-generasi-muda-hindu-dalam-memperkokoh-jati-diri-menuju-ajeg-hindu/

No comments:

Post a Comment