Oleh
Ketut Agustini, Hani Rustisiani, Sofyan
Mengamati perusahaan/organisasi yang bankrut, kami tertari kuntuk mengulas mengenai Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) yang mungkin bagi pembaca sudah tidak asing lagi. MengapaTPI
bisa mengalami kebankrutan? Faktor apa saja yang menyebabkan? Penulis akan coba
mengulas sedikit berdasarkan sudut pandang Organisasi Belajar (Learning Organization)
Pada
awal dekade tahun 1990, perkembangan dunia broadcasting
utamanya pertelevisian di Indonesia mengalami era baru yang cukup pesat. Selama
40 tahun lebih bisnis penyiaran (TV) di Indonesia hanya dikuasai oleh televisi
milik pemerintah (TVRI). Tetapi, setelah era 90-an, perubahan pesat terjadi,
dengan ditandai lahirnya beberapa televisi yang dikelola oleh pihak swasta.
Salah satunya adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau yang lebih familiar
dikenal dengan TPI.
Pada awal-awal pertumbuhan dan
perkembangannya TPI cukup eksis, dengan membawa paradigma embel-embel
“pendidikan” serta kompetiter yang masih sedikit, TPI menjadi salah satu
stasiun televisi yang ratingnya cukup diperhitungkan dan menjadi media tontonan
favorit masyarakat. Genre siaran yang membawa misi pendidikan masih nampak
konsisten diproduksi. Walaupun pada akhirnya beberapa genre siaran mulai
sedikit menyimpang dari idealisme visi perusahaan.
Televisi Pendidikan Indonesia yang lebih akrab disapa TPI ini adalah TV swasta ke-5 yang mengudara
di Indonesia. Visi dari TPI adalah “Paling Indonesia Pilihan Pemirsa” sedangkan
misinya adalah “TPI menyajikan tayangan bercita rasa Indonesia yang inspiratif untuk
memajukan masyarakat” dan slogan TPI adalah “Makin Indonesia makin asyik Aja”.
TPI telah dianggap sebagai pelopor tayangan-tayangan dangdut yang telah dikenal sebagai musik
asli Indonesia. TPI juga terus berusaha mengedepankan tayangan-tayangan sopan
yang bisa dinikmati oleh seluruh keluarga.Beberapa program acara yang ditayangkan TPI yang
menjadi kesukaan masyarakat, diantaranya: News melalui lintaspagi, lintas 5, Sidik (program khusus kriminal)dll, Olah raga, Sinetron, Sinema, Musik, Kartun, Infotainment, Light Entertainment, Reality Show dan Variety show.
Dengan mengamati program-program yang
telah disiarkan TPI selama 23 jam dalam sehari ternyata masih banyak programnya
yang melenceng dari visi dan misi TPI itu sendiri. Seperti diketahui bahwa sejatinya sebagai sebuah
organisasi, tak hanya organisasi media saja tentunya, harus terus berusaha mewujudkan
visi dan misinya seperti uraian diatas.Selain itu pemilihan slogan sebagai sepotong
kalimat yang dijadikan sebagai identitas keberadaan sebuah organisasi,
sekaligus sebagai “merk” dari organisasi tersebut juga seharusnya benar-benar direalisasikan,
mengingat slogan merupakan kalimat yang paling diingat olehmasyarakat sebagai identitas
keberadaan sebuah organisasi sekaligus sebagai merk dari organisasi tersebut.
Ini berarti bahwa TPI dianggap gagal merepresentasikan
visi, misi dan slogannya dalam acara-acara mereka. TPI terlihat tidak konsisten
dengan apa yang telah mereka susun sebagai acuan kerja mereka, yaitu visi dan misi.
Masih kurangnya citarasa Indonesia dalam tayangan-tayangannya, banyaknya hal-hal
yang sama sekali tidak mendidik dan inspiratif bagi masyarakat, lebih-lebih membahayakan
bagi perkembangan masyarakat kedepannya nanti, bukannya memajukan masyarakat
Indonesia.
Tanda-tanda
akan colaps-nya TPI sudah mulai
nampak dari ketidak berdayaan pengelolaan mengantisipasi cepatnya persaingan
antara sesama kompetiter. Munculnya beberapa TV swasta baru, baik secara
nasional, daerah maupun TV luar yang lebih segar penyajiannya membuat TPI kalah
bersaing untuk memperebutkan simpati pasar yang merupakan modal utama bisnis
pertelvisian. Belum lagi dengan adanya kisruh kepemilikan. Sehingga rating TPI
dalam semua program yang disajikan mengalami penurunan dan tidak lagi menjadi
TV favorit bagi penikmat televisi.
Jika
dianalisis lebih dalam dari kacamata learning
organization (LO), maka TPI merupakan sebuah organisasi yang tidak siap
dengan kemampuannya untuk mempertahankan diri menghadapi perubahan zaman. Padahal,
berdasarkan prinsip LO, bahwa sebuah organisasi harus bersikap adaptif dan
terus mendevelop (mengembangkan) secara terus menerus kemampuan dirinya
terhadap setiap perubahan yang ada di lingkungannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang diungkapkan Marquardt (dalam Swanson dan Holton, 2001), bahwa LO adalah sebagai suatu organisasi yang belajar secara kolektif
dan bersemangat, dan terus menerus mentransformasikan dirinya pada pengumpulan,
pengelolaan, dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik bagi keberhasilan perusahaan.
Marquardt
berpendapat, bahwa LO merupakan proses belajar organisasi secara
terus menerus dalam meningkatkan kualitas dirinya. Di samping harus
memperhatikan proses yang ada dalam organisasi belajar, TPI sebagai suatu wadah
dinilai kurang adaptif dan proaktif dalam menyikapi setiap perubahan yang ada, baik
yang berada di dalam organisasi maupun di luar. Hal ini senada dengan pendapat
Senge (1990), bahwa LO
adalah organisasi di mana orang-orang secara terus-menerus memperbesar kapasitasnya untuk
menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, di mana pola berpikir yang
ekspansif dan baru terpelihara dengan baik, di mana aspirasi kolektif terwadahi,
dan di mana orang-orang terus menerus belajar melihat keseluruhan secara bersama-sama. Dari
pendapat ini jelas, bahwa TPI sebagai suatu wadah seharusnyalah melakukan
langkah-langkah adaptif dan proaktif dalam mempertahankan visi dan misinya.
Proses yang secara terus menerus dilakukan TPI seharusnya adalah melakukan
ekspansi program dengan konsep kekinian yang terpelihara baik, mewadahi setiap
aspirasi warga organisasi, dan secara terus-menerus menjaga keseimbangan secara
kolektif.
Pada
awal kehadirannya TPI cukup baik, tetapi kemampuan yang dimiliki tidak dilakukan
pengembangan secara terus-menerus untuk dipertahankan. Hal ini berbanding
terbalik dengan keadaan ekstern perusahaan yang perkembangannya jauh lebih
cepat dari kondisi interns perusahaan. TPI tidak melakukan pembelajaran, baik
secara individu maupun kelompok untuk mengadopsi dan menyesuaikan diri dalam
mempertahankan program-program siaran maupun mengelola kelangsungan perusahaan.
Akibatnya, TPI kalah bersaing dengan TV swasta lain yang jauh lebih inovatif,
kreatif dan mau melakukan proses pembelajaran seiring dengan perkembangan
zaman.
Keterlambatan
TPI melakukan proses berpikir guna mengatisipasi perkembangan zaman membuat blunder yang mengakibatkan colaps-nya perusahaan. Perusahaan tidak
melakukan usaha pembelajaran untuk mengembangkan tacit dan eksplicit knowledge
yang ada. Semua seperti berjalan di tempat. Beberapa unsur potensial yang
dimiliki akhirnya beralih atau berpindah ke perusahaan lain.
Ini semua adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan organisasi dalam hal ini
TPI untuk melakukan pembelajaran dalam mempertahankan hidup perusahaan.
Kesimpulannya, bahwa sebuah perusahaan (apa saja) adalah wajib melakukan proses
penyesuaian diri secara terus menerus mengatisipasi perubahan zaman. Tidak
hanya berhenti pada proses adaptif. Tetapi sebuah organisasi harus proaktif
belajar dan mengembangkan diri untuk dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman. Perusahaan harus survive
dengan segala keadaan yang muncul dan harus mampu melakukan metamerfosis
sehingga apapun kondisi yang terjadi, maka organisasi mampu bertahan. Di
samping itu, organisasi harus dapat menyesuaikan diri dengan terus belajar
dengan cara mengembangkan tacit dan eksplicit knowledge yang dimiliki, baik
secara individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.KDOB’11)
Good analysis, but you should complete your analysis with a clear conclusion and a set of recommenation and do not forget to write write a list of references at the end of your article. Thanks.
ReplyDelete