05 April 2012

Di Balik Kebankrutan TPI (Sebuah Analisis Learning Organization)

Oleh 
Ketut Agustini, Hani Rustisiani, Sofyan


Mengamati perusahaan/organisasi yang bankrut, kami tertari kuntuk mengulas mengenai Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang mungkin bagi pembaca sudah tidak asing lagi. MengapaTPI bisa mengalami kebankrutan? Faktor apa saja yang menyebabkan? Penulis akan coba mengulas sedikit berdasarkan sudut pandang Organisasi Belajar (Learning Organization)
Pada awal dekade tahun 1990, perkembangan dunia broadcasting utamanya pertelevisian di Indonesia mengalami era baru yang cukup pesat. Selama 40 tahun lebih bisnis penyiaran (TV) di Indonesia hanya dikuasai oleh televisi milik pemerintah (TVRI). Tetapi, setelah era 90-an, perubahan pesat terjadi, dengan ditandai lahirnya beberapa televisi yang dikelola oleh pihak swasta. Salah satunya adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau yang lebih familiar dikenal dengan TPI.
            Pada awal-awal pertumbuhan dan perkembangannya TPI cukup eksis, dengan membawa paradigma embel-embel “pendidikan” serta kompetiter yang masih sedikit, TPI menjadi salah satu stasiun televisi yang ratingnya cukup diperhitungkan dan menjadi media tontonan favorit masyarakat. Genre siaran yang membawa misi pendidikan masih nampak konsisten diproduksi. Walaupun pada akhirnya beberapa genre siaran mulai sedikit menyimpang dari idealisme visi perusahaan.
            Televisi Pendidikan Indonesia yang lebih akrab disapa TPI ini adalah TV swasta ke-5 yang mengudara di Indonesia. Visi dari TPI adalah “Paling Indonesia Pilihan Pemirsa” sedangkan misinya adalah “TPI menyajikan tayangan bercita rasa Indonesia yang inspiratif untuk memajukan masyarakat” dan slogan TPI adalah “Makin Indonesia makin asyik Aja”. TPI telah dianggap sebagai pelopor tayangan-tayangan dangdut yang telah dikenal sebagai musik asli Indonesia. TPI juga terus berusaha mengedepankan tayangan-tayangan sopan yang bisa dinikmati oleh seluruh keluarga.Beberapa program acara yang ditayangkan TPI yang menjadi kesukaan masyarakat, diantaranya: News melalui lintaspagi, lintas 5, Sidik (program khusus kriminal)dll, Olah raga, Sinetron, Sinema, Musik, Kartun, Infotainment, Light Entertainment, Reality Show dan Variety show.
Dengan mengamati program-program yang telah disiarkan TPI selama 23 jam dalam sehari ternyata masih banyak programnya yang melenceng dari visi dan misi TPI itu sendiri. Seperti diketahui bahwa sejatinya sebagai sebuah organisasi, tak hanya organisasi media saja tentunya, harus terus berusaha mewujudkan visi dan misinya seperti uraian diatas.Selain itu pemilihan slogan sebagai sepotong kalimat yang dijadikan sebagai identitas keberadaan sebuah organisasi, sekaligus sebagai “merk” dari organisasi tersebut juga seharusnya benar-benar direalisasikan, mengingat slogan merupakan kalimat yang paling diingat olehmasyarakat sebagai identitas keberadaan sebuah organisasi sekaligus sebagai merk dari organisasi tersebut.
Ini berarti bahwa TPI dianggap gagal merepresentasikan visi, misi dan slogannya dalam acara-acara mereka. TPI terlihat tidak konsisten dengan apa yang telah mereka susun sebagai acuan kerja mereka, yaitu visi dan misi. Masih kurangnya citarasa Indonesia dalam tayangan-tayangannya, banyaknya hal-hal yang sama sekali tidak mendidik dan inspiratif bagi masyarakat, lebih-lebih membahayakan bagi perkembangan masyarakat kedepannya nanti, bukannya memajukan masyarakat Indonesia.
Tanda-tanda akan colaps-nya TPI sudah mulai nampak dari ketidak berdayaan pengelolaan mengantisipasi cepatnya persaingan antara sesama kompetiter. Munculnya beberapa TV swasta baru, baik secara nasional, daerah maupun TV luar yang lebih segar penyajiannya membuat TPI kalah bersaing untuk memperebutkan simpati pasar yang merupakan modal utama bisnis pertelvisian. Belum lagi dengan adanya kisruh kepemilikan. Sehingga rating TPI dalam semua program yang disajikan mengalami penurunan dan tidak lagi menjadi TV favorit bagi penikmat televisi.
Jika dianalisis lebih dalam dari kacamata learning organization (LO), maka TPI merupakan sebuah organisasi yang tidak siap dengan kemampuannya untuk mempertahankan diri menghadapi perubahan zaman. Padahal, berdasarkan prinsip LO, bahwa sebuah organisasi harus bersikap adaptif dan terus mendevelop (mengembangkan) secara terus menerus kemampuan dirinya terhadap setiap perubahan yang ada di lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan Marquardt (dalam Swanson dan Holton, 2001), bahwa LO adalah sebagai suatu organisasi yang belajar secara kolektif dan bersemangat, dan terus menerus mentransformasikan dirinya pada pengumpulan, pengelolaan, dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik bagi keberhasilan perusahaan.
Marquardt berpendapat, bahwa LO merupakan proses belajar organisasi secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas dirinya. Di samping harus memperhatikan proses yang ada dalam organisasi belajar, TPI sebagai suatu wadah dinilai kurang adaptif dan proaktif dalam menyikapi setiap perubahan yang ada, baik yang berada di dalam organisasi maupun di luar. Hal ini senada dengan pendapat Senge (1990), bahwa LO adalah organisasi di mana orang-orang secara terus-menerus memperbesar kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, di mana pola berpikir yang ekspansif dan baru terpelihara dengan baik, di mana aspirasi kolektif terwadahi, dan di mana orang-orang terus menerus belajar melihat keseluruhan secara bersama-sama. Dari pendapat ini jelas, bahwa TPI sebagai suatu wadah seharusnyalah melakukan langkah-langkah adaptif dan proaktif dalam mempertahankan visi dan misinya. Proses yang secara terus menerus dilakukan TPI seharusnya adalah melakukan ekspansi program dengan konsep kekinian yang terpelihara baik, mewadahi setiap aspirasi warga organisasi, dan secara terus-menerus menjaga keseimbangan secara kolektif.
Pada awal kehadirannya TPI cukup baik, tetapi kemampuan yang dimiliki tidak dilakukan pengembangan secara terus-menerus untuk dipertahankan. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan ekstern perusahaan yang perkembangannya jauh lebih cepat dari kondisi interns perusahaan. TPI tidak melakukan pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok untuk mengadopsi dan menyesuaikan diri dalam mempertahankan program-program siaran maupun mengelola kelangsungan perusahaan. Akibatnya, TPI kalah bersaing dengan TV swasta lain yang jauh lebih inovatif, kreatif dan mau melakukan proses pembelajaran seiring dengan perkembangan zaman.
Keterlambatan TPI melakukan proses berpikir guna mengatisipasi perkembangan zaman membuat blunder yang mengakibatkan colaps-nya perusahaan. Perusahaan tidak melakukan usaha pembelajaran untuk mengembangkan tacit dan eksplicit knowledge yang ada. Semua seperti berjalan di tempat. Beberapa unsur potensial yang dimiliki akhirnya beralih atau berpindah ke perusahaan lain. Ini semua adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan organisasi dalam hal ini TPI untuk melakukan pembelajaran dalam mempertahankan hidup perusahaan. Kesimpulannya, bahwa sebuah perusahaan (apa saja) adalah wajib melakukan proses penyesuaian diri secara terus menerus mengatisipasi perubahan zaman. Tidak hanya berhenti pada proses adaptif. Tetapi sebuah organisasi harus proaktif belajar dan mengembangkan diri untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Perusahaan harus survive dengan segala keadaan yang muncul dan harus mampu melakukan metamerfosis sehingga apapun kondisi yang terjadi, maka organisasi mampu bertahan. Di samping itu, organisasi harus dapat menyesuaikan diri dengan terus belajar dengan cara mengembangkan tacit dan eksplicit knowledge yang dimiliki, baik secara individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.KDOB’11)

1 comment:

  1. Good analysis, but you should complete your analysis with a clear conclusion and a set of recommenation and do not forget to write write a list of references at the end of your article. Thanks.

    ReplyDelete